Data has become an inseparable part of our lives. Without data there would be no quality research, good policies and viable businesses. The annual fiasco concerning forest fires highlights the problem that may arise if we are unable to access and use data properly.
Better data governance or application of open data principles could help the government in solving the complex development challenges it faces. Generally the concept of open data has been closely linked to the larger effort of creating a better and more open government; one that is more transparent, accountable and responsive to its citizens.
Open data can also spur innovation and economic growth. By unleashing malleable datasets, innovators and inventors can build valuable products out of them, and in return can contribute to the economic growth of a country.
A study by McKinsey suggests that open data can help unlock US$3 to 5 trillion in economic value annually. Take the Citymapper application. It helps Londoners, New Yorkers and travelers from around the world navigate the complexity of commuting in both cities. Citymapper is such a great marriage between open data, collaboration and innovation that ultimately brings contentedness to its users.
What actually is open data? Generally open data is data that anyone can access, use and share anytime, anywhere. In Indonesia, the government has, since October 2013, introduced an initiative to improve data governance through the “One Data” initiative. It is an initiative to improve the government’s data interoperability and accessibility, not just within and between government institutions, but also for the public.
This initiative goes hand-in-hand with one of the President’s campaign promises to carry out good governance.
Today, the One Data initiative is exercised through the establishment of a national data portal: data.go.id. The portal currently holds up to 1,000 datasets from various government agencies and has become a one-stop source for the public to using government data.
The government’s support and working platform are there. Do we have all we need then? Not really — there are currently two big impediments. First, there is no strong foundation to enable an open data ecosystem to thrive.
A basic open data ecosystem allows for data to be kept in an open format that can be easily reused by the public. On this, there is yet to be clear directives and regulations on how data is produced and managed as part of the government’s policy-making process.
Replacing the culture of data management in government with a more efficient one is no easy task. Hence, with the absence of a directive, reforming data governance incurs significant costs, since it requires extra resources both financially and operationally.
The forest fires is a case in point. The use of different data and maps has been reviewed by many as one of the key causes of land disputes and overlapping permits in plantation and mining operations.
In response, the government recently issued a Presidential regulation on a “One Map” policy to improve land-use management by giving directives to government agencies to produce a single, authoritative spatial map that is unified, accurate and reliable.
The policy and regulation may not be necessary, had open data principles been applied as business as usual in the government.
Second, the advocacy that works around open data issues has to be more specific and be able to address sectoral issues. Until now, most open data advocacy only stops at “opening up the data” and has not touched areas where open data can be used to solve problems.
Advocacy that only focuses on data release has to be shifted into building data products that solve specific social issues in various sectors. Building evidence-based concepts that shows how open data can truly bring value should be the core activity of open data advocacy.
The Citymapper case is perfect storytelling in showcasing the benefits of open data. Seeing the challenges, should we whither? We don’t think so. In the current digital age, the opportunities are luckily ample.
Organizations that are actively contributing to an open data ecosystem through different initiatives, like Publish What You Pay for openness in the extractive industry or “Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi” (Perludem) for openness in the electoral system and parliament, show how vast the resources are to push data governance into becoming a prioritized agenda.
And now there are even more people with the technical skills who are getting interested in civic issues. Engaging them closely is key to further unleashing the value of open data for the Indonesian people. What should be the future directives?
First, the government may consider developing a single directive that would establish clearer business processes and data standards. Some baby steps to testing the effectiveness of that directive could be done through pilot projects with government agencies that have shown interests to joining the bandwagon.
Second is to create a better data governance ecosystem by strengthening the supply and demand side of data. Data supply can come from both government and non-government sectors.
Combining two streams requires hard work that cannot only come from government but from citizens alike. For open data to truly bring an impact to Indonesia, we as society have to recognize the value of open data and be willing to assist every step of its implementation together.
Open data or better data governance is not the goal but a means to have better development planning and governance. In the end, the one who will truly benefit from open data would not be government, companies, or civil society organizations but us, the Indonesian people as one.
_________________
Fithya Findie is the national secretariat head of Open Government Indonesia. Muhammad Daud is an associate director at the Executive Office of the President. Prasetya Dwicahya is a research analyst at the World Bank Indonesia and also a member of Data Science Indonesia. The views express are their own.
Kategori: Berita KSP
JAKARTA– Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki mengajak para jurnalis menggunakan data pemerintah dalam berkarya. Para jurnalis bisa mempertajam tulisannya melalui berbagai data yang tersedia di Portal Data Indonesia www.data.go.id. Hal ini sesuai dengan implementasi Nawacita di mana Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla berkomitmen membangun pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya.
“Pemerintah konsisten menjalankan Nawacita dengan membuka data pemerintah,” kata Teten Masduki saat pembukaan kompetisi Indonesia Data Driven Journalism 2016 (IDDJ 2016) di kompleks Istana, Sabtu 5 Maret 2016.
Teten berharap para jurnalis menggunakan data pemerintah sebagai acuan untuk menyebarkan informasi kepada publik, agar informasi yang disajikan tepat dan berbasis data yang akurat. Dengan begitu, media akan jauh lebih objektif dalam mengawasi pemerintah.
“Jadi wartawan jangan melulu mengejar para menteri dan pejabat saat mencari berita. Kalau pejabat tak punya waktu cukup untuk menjelaskan, nanti informasi yang diterima bisa salah,” ujar Teten menjelaskan.
Salah satu data yang dibuka dalam kompetisi jurnalistik adalah data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, mengatakan bahwa penyediaan data sangat penting untuk melibatkan partisipasi publik dalam mengevaluasi kebijakan.
“Ibaratnya, data adalah napas sebuah ekosistem pendidikan,” kata Anies menegaskan.
Kini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sedang membangun aplikasi agar masyarakat bisa dengan mudah mengakses semua data pendidikan. Aplikasi tersebut bernama Jendela Pendidikan dan Kebudayaan, yang saat ini dapat diakses melalui http://jendela.data.kemdikbud.go.id/.
Jendela ini akan mencantumkan data tentang satuan pendidikan mulai profil dan kondisi fisik sekolah, jumlah dan biodata siswa, jumlah dan kompetensi tenaga pengajar, prestasi sekolah, hingga pencapaian peserta didik. Aplikasi ini pun tak hanya dimanfaatkan untuk melihat data, tetapi masyarakat juga bisa berpartisipasi memasukkan informasi sebuah sekolah. Kolaborasi yang baik antara pemerintah dan masyarakat dapat meningkatkan mutu pendidikan Indonesia.
“Harusnya pendekatan pendidikan seperti ini,” tegas Anies.
Anies menekankan pentingnya masyarakat berpartisipasi di sektor pendidikan. Apalagi, ucap Anies, sejak 2001 wewenang pengelolaan sekolah ini ada di pemerintah daerah. Kementerian yang dipimpin Anies juga telah membuat data pengelolaan sekolah yang diunggah di laman Neraca Pendidikan Daerah (http://npd.data.kemdikbud.go.id/) agar warga di daerah bisa mengawasi pelayanan pendidikan. “Warga berhak tahu besaran alokasi sektor pendidikan dari APBD.”

Deputi I Bidang Pengendalian Pembangunan Program Prioritas Kantor Staf Presiden, Darmawan Prasodjo, mengatakan gerakan keterbukaan data pemerintah telah dimulai, namun perlu diakui bahwa integrasi data kementerian/lembaga/pemerintah daerah (K/L/D) merupakan tantangan yang luar biasa. Darmawan, yang membawahi One Data Indonesia, mengatakan komunikasi antar K/L/D akan lebih mudah jika ada integrasi data pemerintah.
“Dengan adanya data yang terhimpun, maka seluruh pemangku kepentingan bisa mengetahui dan mengidentifikasi masalah, cara mengatasinya, hingga membuat implementasi solusi yang efektif,” tutur Darmawan.
IDDJ 2016 diselenggarakan oleh One Data Indonesia dalam memperingati hari International Open Data Day setiap 5 Maret. Acara IDDJ 2016 terlaksana berkat kerja sama antara Kantor Staf Presiden, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Kesehatan, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan Jaringan Indonesia untuk Jurnalisme Investigasi (JARING). Acara ini melibatkan 50 orang audiensi dan 120 orang peserta kompetisi yang terbagi menjadi 60 tim. Selain melibatkan para jurnalis profesional, IDDJ 2016 juga melibatkan pers mahasiswa dari berbagai kampus di Indonesia.
JAKARTA- Hari ini, 3 Maret 2016, Kepala Staf Presiden Teten Masduki menerima kunjungan dari Senior Advisor to The Secretary of State David H. Thorne mendampingi para pebisnis AS di Kantor Staf Presiden.
Pertemuan ini merupakan tindak lanjut dari lawatan Presiden Joko Widodo Februari 2016 lalu ke Amerika Serikat.
Dalam pertemuan ini pengusaha AS yang hadir antara lain dari Endeavour, Ebay, Qualcomm, Coursera, IBM dan GE. Mereka mengatakan siap untuk membantu Indonesia mengembangkan wirausaha, UKM dan ekonomi digital.
Teten menjelaskan bahwa pengembangan Kewirausahaan dan Ekonomi Digital menjadi prioritas Presiden, dan Indonesia membuka diri terhadap kerjasama dan investasi dari pihak swasta termasuk dari Amerika Serikat.
Indonesia sedang mempersiapkan infrastruktur seperti Palapa Ring untuk internet cepat dan akses finansial untuk UKM dan wirausaha melalui KUR, bahkan dalam hal finansial akan mengarah ke transaksi tanpa uang tunai (cashless). Untuk transaksi di pulau terpencil telah tersedia Bank Kapal. Selain itu Indonesia tengah mempersiapkan RUU Kewirausahaan Nasional untuk mendukung pengembangan Kewirausahaan Sosial dan Pemula.
David juga menanyakan mengenai waktu yang dibutuhkan untuk memulai usaha di Indonesia karena hal tersebut sangat penting untuk mendorong terciptanya investasi baru. Terkait hal tersebut Teten menjelaskan bahwa hanya dibutuhkan waktu 3 jam bila dilakukan di KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) dan BKPM telah memiliki layanan satu pintu untuk membantu calon investor.
Para pengusaha tersebut menjajaki kerjasama lebih jauh, dan diarahkan oleh Teten untuk berkomunikasi dengan Kementrian teknis terkait, seperti Kemenkominfo, Kemendag dan Bekraf agar dapat segera terealisir.
JAKARTA- Pemerintah berkomitmen menjadikan Nawacita sebagai ruh dalam pembangunan nasional. Nawacita yang merupakan janji Presiden Jokowi dan wakil Presiden Jusuf Kalla harus menjadi acuan dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Untuk itu Kementerian PPN/Bappenas dan Kantor Staf Presiden (KSP) sebagai bagian dari lembaga kepresidenan sepakat meningkatkan sinergi mewujudkan Nawacita. Sala satu upayanya adalah dengan membangun kesepahaman tentang pengelolaan dan pengendalian program prioritas nasional sehingga sejalan dengan visi-misi Presiden.
“Bappenas dan KSP akan berkoordinasi secara intensif untuk meningkatkan efektivitas pencapaian visi-misi Presiden,” kata Kepala Staf Presiden Teten Masduki dalam acara Sinkronisasi Pengelolaan dan Pengendalian Program Prioritas Nasional di Kompleks Istana Kepresidenan pada Kamis, 3 Maret 2016.
Menurutnya, sinkronisasi ini penting agar program prioritas termaktub dalam perencanaan pembangunan nasional. Selain itu memastikan konsisten RPJMN dan RKP sesuai dengan Nawacita.
“Nawacita belum menjadi bagian sepenuhnya dari RPJMN dan RKP. Masih ada gap. Maka ada tahap perencanaan yang sama-sama kita intervensi sehingga gap itu tidak terlalu lebar,” jelas Teten.

Hal yang dilakukan Bappenas bersama KSP antara lain, optimalisasi belanja kementerian/lembaga, pemanfaatan anggaran pinjaman dan/atau dan hibah luar negeri, dan mekanisme APBN-P untuk tahun berjalan. Mengingat siklus pengendalian KSP juga akan disinergikan dengan siklus perencanaan pembangunan nasional yang digawangi Bappenas, maka untuk program dan kegiatan pembangunan 2017, KSP sejak awal telah dilibatkan dalam penyusunan RKP 2017. Ada 12 rencana induk yang sedang digodok KSP yaitu ketahanan pangan, tol laut, Papua, kedaulatan energi, infrastruktur dan pengembangan kawasan perbatasan. Kemudian bantuan sosial, industrialisasi, pariwisata, reforma agraria dan pembangunan desa, bangsa berkarakter dan berdaya saing dan terakhir penegakan hukum dan reformasi birokrasi.
Selain itu, ke depannya hasil pengendalian program prioritas yang dilakukan oleh KSP akan dijadikan umpan balik agar terintegrasi ke dalam perencanaan pembangunan.
Menteri PPN/Kepala Bappenas Sofyan Djalil menambahkan penyusunan RKP TA 2017 menerapkan prinsip tematik, holistik, terintegrasi, serta pendekatan spasial. Dijelaskan, pendekatan holistik adalah mendekati program presiden dari berbagai kementerian.
“Misalnya pembangunan Papua, kita akan melibatkan semua kementerian yang berhubungan. Sementara pendekatan tematik misalnya ketahanan pangan, maka kita memastikan alokasi kepada kementerian seperti PU, pertanian yang terlibat itu terintegrasi, tidak terpisah-pisah,” jelasnya.

Selain itu, mekanisme pengendalian pembangunan juga akan diperkuat dan difungsikan sebagai early warning system sehingga pemerintah dapat segera mengambil tindakan koreksi yang diperlukan. Langkah ini dilakukan untuk mempercepat pencapaian dan menjaga momentum pembangunan nasional.
“Kuncinya tentu adalah pada perencanaan dan penganggaran. Sesuai arahan Presiden di rapat kabinet terakhir, anggaran mengikuti program. Anggaran yang tersebar di mana-mana kita fokuskan untuk mendukung program prioritas,” kata Sofyan.
Ke depannya Bappenas dan KSP akan memperluas kerjasama dengan seluruh lembaga kepresidenan sehingga program pemerintah dapat dikawal secara koordinatif agar semakin konsisten dengan Nawacita.
“Keterpaduan penting untuk melaksanakan pembangunan yang lebih efektif,” tutupnya.
OKI dan Utang Sejarah
Pada 6-7 Maret 2016 pekan depan, Indonesia menjadi tuan rumah ”5th Extraordinary Session of the Islamic Summit Conference on the Cause of Palestine and Al-Quds Al-Shareef,” yang menjadi bagian dari Konferensi Tingkat Tinggi Organisasi Kerja Sama Islam di Jakarta.
Konferensi yang berlangsung sebagai respons terhadap permintaan Presiden Palestina Mahmoud Abbas ini akan menghasilkan resolusi Deklarasi Jakarta yang akan menentukan langkah-langkah dukungan konkret dan posisi Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dalam isu Palestina dan Al-Quds Al-Shareef.
Di luar konteks dari konferensi itu, pertemuan ini bisa menjadi momentum yang tepat untuk membicarakan peran yang lebih maksimal dari OKI itu sendiri. Kepemimpinan OKI oleh negara-negara Timur Tengah terbukti gagal menyelesaikan banyak konflik di antara negara-negara Islam. Bahkan, mereka ikut saling berkonflik satu sama lain sehingga penyelesaian konflik Timur Tengah seperti benang kusut yang tak jelas dari mana harus diurai. Akibatnya, legitimasi OKI dipandang sebelah mata oleh negara-negara Barat. Dalam situasi seperti ini, wacana kepemimpinan OKI di luar negara-negara Timur Tengah dapat menjadi langkah untuk mengurai benang kusut konflik dan membawanya pada solusi damai melalui dialog dan perundingan.
Pendirian OKI dideklarasikan di Maroko tahun 1969 dengan anggota 25 negara. Saat ini, jumlah anggota 57 negara. OKI didirikan berdasarkan keyakinan atas agama Islam, penghormatan pada Piagam PBB dan HAM dengan tujuan meningkatkan solidaritas Islam, kerja sama politik, ekonomi dan sosial-budaya, mendukung perdamaian dan keamanan internasional, melindungi tempat-tempat suci Islam, dan membantu perjuangan pembentukan negara Palestina yang merdeka dan berdaulat.
Meski masuk menjadi anggota OKI, Indonesia adalah negara yang mempunyai konstitusi sekuler di mana urusan agama dan negara menjadi suatu yang terpisah. Indonesia bukanlah negara agama, yang menerapkan hukum syariah Islam menjadi fondasi negara dalam berbagai aspek kehidupan bernegara. Indonesia adalah negara sekuler yang menghargai nilai-nilai ketuhanan, tetapi menjalankan negara menurut konstitusi UUD 1945, bukan berbasis syariah Islam.
Islam dalam konteks Indonesia secara historis, sosiologis dan kultural adalah Islam moderat yang inklusif dan dapat hidup bersama dengan agama dan keyakinan lain. Situasi Indonesia ini terus bertahan sejak zaman pemerintahan Soekarno hingga Jokowi. Memang, radikalisasi terjadi dalam kelompok-kelompok kecil hingga yang ekstrem dalam bentuk terorisme, tetapi secara umum Islam moderatyang diwakili dua ormas Islamterbesar, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, adalah Islam mainstream yang paling berpengaruh.
Berbagai upaya kelompok radikal dan terorisme, seperti ISIS, mengguncang tatanan Islam moderat boleh dikatakan gagal. Rakyat Indonesia yang mayoritas Islam lebih melihat kelompok-kelompok ini sebagai sempalan yang merusak citra Islam sebagai agama cinta damai, agama rahmatan lil alamin.
Jika dirunut ke belakang, rekam jejak peran Indonesia dalam OKI memang dirasa masih terbatas, kalau tidak boleh dibilang minim. Padahal, Indonesia negara dengan jumlah penduduk beragama Islam terbesar di dunia dan mampu membuktikan bahwa demokrasi dan Islam mempunyai nilai-nilai yang sejalan. Hal ini terjadi karena orientasi ekonomi dan politik Indonesia di zaman Orde Baru sangat dekat dengan kepentingan negara-negara Barat. Politik domestik pemerintahan Orde Baru juga memandang curiga berlebihan kelompok Islam politik yang distigmatisasi sebagai ekstrem kanan dan dianggap anti Pancasila.
Islam ”rahmatan lil alamin”
Dalam situasi dunia Islam yang dipenuhi konflik dan peperangan satu sama lain dan melibatkan banyak negara Barat seperti di Afganistan, Pakistan, Libya, dan Suriah semakin membuktikan bahwa Islam moderat rahmatan lil alamin yang mengakar di Indonesia menjadi sangat relevan dan dapat ditransformasikan ke dalam OKI.
Makna Islam rahmatan lil alamin bahwa agama Islam adalah pembawa rahmat dan kedamaian bagi seluruh alam dan bagi semua makhluk hidup di muka bumi tanpa terkecuali. Islam rahmatan lil alamin tak mengajarkan permusuhan dan perpecahan, tetapi persaudaraan (ukuwah), mengasihi (rahman), dan menyayangi (rahim). Dalam konteks lebih luas, perbedaan yang ada dalam Islam bukanlah untuk diperuncing, tetapi menjadi sebuah kekuatan bersama untuk kemajuan bangsa.
Dalam Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung, April 2015, Presiden Jokowi berkesempatan membuat forum dengan negara-negara OKI. Dalam pertemuan tersebut, Presiden mengusulkan dibentuknya suatu contact group dalam OKI yang menyuarakan Islam sebagai rahmatan lil alamin. Pada September 2015, gagasan ini kembali disampaikan saat Presiden bertemu di Arab Saudi dengan Sekjen OKI Iyad Madani. Sekjen OKI menyatakan Indonesia merupakan contoh antara demokrasi dan Islam dapat berjalan bersama-sama.
Gagasan Presiden Jokowi mentransformasikan Islam rahmatan lil alamin Indonesia ke dalam OKI tampaknya semakin relevan dengan kondisi internal negara Islam yang tercabik-cabik dan relasi yang buruk dengan negara-negara Barat di antara beberapa negara anggota. Gagasan ini sejalan dengan Mecca Declaration dalam KTT Luar Biasa OKI ketiga di Mekkah, Arab Saudi, yang mencantumkan prinsip-prinsip demokrasi, good governance, pemajuan HAM, serta hak-hak perempuan dalam piagam baru OKI. Isu-isu itu oleh Barat dianggap kelemahan negara-negara Islam. Dalam praktik memang prinsip-prinsip ini belum dijalankan sepenuhnya di sejumlah negara anggota OKI karena ada kecurigaan nilai-nilai itu adalah internalisasi nilai-nilai Barat (liberal) ke dalam negara Islam, bukan sebagai prinsip universal yang juga bagian internal dari nilai-nilai Islam itu sendiri.
Peran yang juga dapat diambil lebih strategis oleh Indonesia adalah menjadi mediator berbagai konflik dan peperangan di negara-negara Islam. Sejauh ini, kepentingan negara-negara Barat dan Rusia tampaknya lebih mengambil inisiatif, sedangkan negara-negara Islam lebih tampak mengekor di belakangnya. Indonesia bisa mendorong OKI untuk tidak dalam posisi inferior menghadapi kepentingan Barat dan memediasi berbagai konflik di antara negara-negara anggotanya. Posisi Indonesia menjadi penting dalam OKI karena dianggap dapat menjadi jembatan antara Barat dan Islam yang sepanjang sejarah selalu penuh konflik dan curiga. Indonesia dianggap Barat dan negara Islam berhasil memadukan nilai demokrasi Barat dengan nilai-nilai Islami rahmatan lil alamin.
Usulan agar Islam rahmatan lil alamin yang sukses dijalankan di Indonesia diinternalisasi ke dalam OKI, selain dapat dukungan dari Sekjen OKI, juga didukung beberapa negara Timur Tengah lain, seperti Sudan dan Mesir. Momentum ini menjadi pintu masuk agar Indonesia lebih mengambil peran kepemimpinan dalam OKI dalam berbagai isu strategis danjalan ideologis bagi OKI ke depan.
Dukungan kemerdekaan Palestina
Dalam pidato pembukaan KAA di Bandung, April 2015, Presiden Jokowi secara lantang menyatakan, ”Kita dan dunia masih berutang kepada rakyat Palestina. Dunia tidak berdaya menyaksikan penderitaan rakyat Palestina. Kita tidak boleh berpaling dari penderitaan rakyat Palestina. Kita harus mendukung sebuah negara Palestina yang merdeka.” Dalam mendukung kemerdekaan Palestina, Indonesia berpegang pada Nawacita sebagai pedoman strateginya, terutama butir ”mengintensifkan proses dialog antar peradaban dan tata aturannya” dan ”pelaksanaan diplomasi Indonesia dalam penanganan konflik di Timur Tengah”.
Presiden Jokowi memasukkan dukungan bagi kemerdekaan Palestina sebagai salah satu tujuan utama di peringatan KAA 2015 dan menghasilkan dokumen Deklarasi Palestina, yang disetujui 32 kepala negara yang hadir. Deklarasi Palestina menyatakan pengakuan atas kedaulatan dan kemerdekaan Palestina dengan Jerusalem Timur sebagai ibu kota, berdasarkan batas-batas wilayah pada 4 Juni 1967 dan resolusi PBB yang relevan, serta solusi pendirian dua negara. Terpenting, deklarasi ini juga memberikan dukungan penuh kepada Palestina sebagai anggota tetap Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Selain pengakuan politik pada pendirian negara Palestina, Indonesia juga terlibat dalam konsorsium antar negara untuk memajukan pembangunan di Palestina. Pada awal Maret 2014, Indonesia menyelenggarakan konferensi kerja sama negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara untuk Pembangunan Palestina (CEAPAD) kedua di Jakarta yang dihadiri PM Palestina Rami Hamdallah, Menlu Palestina Riyad Malki, Menlu Afrika Selatan Maite Nkoana-Mashabane, Menlu Jepang Fumio Kishida, perwakilan negara-negara Asia tenggara, 13 negara pemantau, dan lima organisasi internasional. Indonesia memberikan bantuan kepada Palestina dalam lima sektor: infrastruktur, informasi dan teknologi komunikasi, pariwisata, manufaktur, dan pertanian. Total bantuan Indonesia di semua sektor itu tak kurang dari 1 juta dollar AS.
Di luar deklarasi itu, Presiden juga terus mengupayakan cara memperkuat relasi bilateral antara Pemerintah RI dan Palestina. Pada pertemuan Jokowi-Rami Hamdallah juga kembali ditegaskan komitmen membangun kantor konsulat di Ramallah, Palestina. Selama ini, urusan Indonesia-Palestina ditangani KBRI di Amman, Jordania, atau di Kairo, Mesir. Persoalannya, untuk membangun konsulat harus berhubungan dengan Pemerintah Israel, tetapi Indonesia tak punya hubungan diplomatik.
Dukungan Indonesia pada kemerdekaan Palestina dalam berbagai bidang menunjukkan bahwa persoalan Palestina adalah ”utang historis” Indonesia dan negara-negara Islam yang belum dibayar lunas. Melihat situasi di Timur Tengah yang semakin rumit, dukungan pada kemerdekaan Palestina harus tetap dikawal agar tidak tenggelam dalam isu konflik yang semakin parah di Timur Tengah.
*Oleh Eko Sulistyo, Deputi Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden.
Tulisan ini pernah dimuat di Kompas, 3 Maret 2016.