Categories
Berita Berita KSP

Kepala Staf Kepresidenan Respons Persoalan Program Makan Bergizi Gratis

Jakarta, Kepala Staf Kepresidenan, Muhammad Qodari, menegaskan pentingnya langkah cepat dan tegas untuk mencegah kasus keracunan pangan dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Insiden yang terjadi di sejumlah Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), menurutnya, menjadi peringatan serius agar pengelolaan program lebih disiplin dan berbasis standar.

Kepala Staf Kepresidenan mengungkapkan, berbagai lembaga pemerintah mulai dari Badan Gizi Nasional (BGN), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), hingga Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mencatat jumlah kasus keracunan pangan yang relatif serupa.

“Bahwa masalah yang sama dicatat oleh 3 lembaga. Bahkan oleh BGN sendiri, angkanya secara statistik itu sebetulnya sinkron sama-sama di sekitar angka 5.000. Perbedaan angka antar lembaga jangan dibaca sebagai kontradiksi. Justru ini menunjukkan konsistensi bahwa masalah tersebut nyata dan butuh penanganan segera,” ujarnya, Senin (22/9/2025).

Kepala Staf Kepresidenan menjelaskan menyebut, keracunan umumnya dipicu oleh rendahnya higienitas makanan, suhu yang tidak sesuai standar, kesalahan dalam pengolahan, hingga kontaminasi silang dari petugas, serta dipicu oleh alergi pada penerima manfaat.

Menurutnya, pemerintah sudah merespons dengan cepat. “Pemerintah tidak tone deaf, tidak buta dan tuli. Bahkan Pak Mensesneg pada Jumat lalu sudah menyampaikan permintaan maaf dan komitmen evaluasi,” tambahnya.

Qodari kemudian menyoroti catatan Kemenkes yang menunjukkan adanya kesenjangan besar dalam penerapan standar keamanan pangan. Dari 1.379 SPPG, hanya 413 yang memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) Keamanan Pangan, dan lebih sedikit lagi, hanya 312 yang benar-benar menerapkannya.

“Dari sini kan sudah kelihatan kalau mau mengatasi masalah ini, maka kemudian SOP-nya harus ada, SOP Keamanan Pangan harus ada dan dijalankan,” tegasnya.

Qodari menambahkan, Kemenkes juga memiliki Sertifikasi Laik Higiene dan Sanitasi (SLHS) sebagai bukti pemenuhan standar mutu serta persyaratan keamanan pangan olahan maupun siap saji.

“Jadi singkatnya SPPG itu harus punya SLHS dari Kemenkes sebagai upaya mitigasi dan pencegahan keracunan pada program MBG,” ucapnya.

Data per 22 September 2025 menunjukkan, dari total 8.583 SPPG, baru 34 SPPG yang memiliki SLHS, sementara 8.549 lainnya belum. Menurut Qodari, hal ini menegaskan bahwa solusi tidak bisa ditunda, setiap SPPG wajib memiliki SOP dan SLHS sebagai prasyarat operasional.

Hasil koordinasi KSP dengan kementerian terkait juga mengonfirmasi bahwa regulasi sebenarnya sudah tersedia diterbitkan oleh BGN dengan dukungan BPOM. Tantangan terbesarnya adalah memastikan aturan tersebut benar-benar diaktifkan dan dipatuhi.

“Bahwa dari sisi regulasi dan aturan telah diterbitkan oleh BGN dan dibantu oleh BPOM, PR-nya adalah sisi aktivasi dan pengawasan kepatuhan,” ungkapnya.

Kepala Staf Kepresidenan juga menyinggung soal maturitas dan manajerial SPPG. Data BPOM menunjukkan, sembilan dari sepuluh SPPG yang melaporkan keracunan pada Agustus–September 2025 merupakan SPPG baru yang beroperasi kurang dari satu bulan.

“Jadi memang ini sisi-sisi rentannya. Katanya kalau pesawat itu paling riskan pada saat baru take off. Nah, di MBG ini ada masa yang saya sebut critical one month, masa tiga puluh hari pertama yang memang sangat rawan,” jelasnya.

Selain itu, Kepala Staf Kepresidenan menekankan perlunya strategi baru untuk mengejar target pendirian 30.000 SPPG sekaligus menutup celah pungutan liar (pungli) yang kerap muncul dari yayasan kepada investor.

“Dari target 83 juta penerima dan 30.000 SPPG, langsung saja titik-titik itu dibuka kepada publik. Siapa yang mau membantu proses pendirian SPPG bisa daftar online. Kalau tidak bisa memenuhi syarat dalam batas waktu, maka diganti dengan pendaftar berikutnya,” ujarnya.

Menurut Qodari, skema terbuka ini akan mempercepat pencapaian target sekaligus mencegah praktik pungli. “Kalau ada pungli pada SPPG, maka alokasi Rp10.000 per anak untuk bahan pangan MBG bisa berkurang. Ujungnya kualitas bahan menurun dan berisiko menimbulkan keracunan. Padahal ini bukan semata angka uang, melainkan menyangkut kesuksesan program MBG,” tegasnya.

Qodari menegaskan, pengelolaan SPPG harus bebas pungli, disiplin menjalankan SOP, serta wajib memiliki SLHS dari Kemenkes. Dengan tata kelola yang benar, program MBG akan berjalan baik dan risiko keracunan dapat ditekan.

Sebagai langkah konkret, ia mendorong agar dinas kesehatan dan puskesmas di sekitar SPPG turut dilibatkan dalam pengawasan. “Ada 10 ribu puskesmas di seluruh Indonesia. Mereka bisa dilibatkan untuk pengawasan SPPG, minimal sebulan sekali. Kalau bulan pertama yang kritikal itu, bahkan bisa seminggu sekali,” jelasnya.

“Sekali lagi ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak tutup mata, tidak buta dan tuli. Program MBG adalah amanat Presiden untuk menjaga gizi anak bangsa, dan kita semua berkewajiban memastikan terlaksana dengan selamat dan bermartabat,” pungkas Qodari.