Categories
Berita Berita KSP Kedeputian Kedeputian I

UU Cipta Kerja Perkuat Nelayan Naik Kelas


JAKARTA – Undang-undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker ) mengatur sektor maritim agar lebih memiliki daya saing. Salah satunya ialah memperkuat peran nelayan dan melindungi nelayan dengan pertimbangan yang menyeluruh. Tenaga Ahli Utama Kedeputian I Kantor Staf Presiden (KSP) Alan F. Koropitan menuturkan, dalam hal definisi nelayan mempertimbangkan aspek holistik berarti tidak hanya melihat kapasitas usaha dari ukuran kapal, melainkan juga modal usaha khususnya dari dalam negeri sehingga nelayan bisa naik kelas. “Misalnya, pemilik kapal dibawah 10 gross ton, tapi punya modal besar dan mesin kapasitas besar. Ini tidak bisa masuk kategori nelayan kecil. Negara akan mengatur melalui UU Ciptaker dengan aturan turunan melalui RPP,” ungkap Alan, Senin (9/11).

Menurut Alan, UU Ciptaker akan mempertajam definisi supaya semakin memperkuat pengelolaan yang tepat sasaran. Alan mencontohkan 96 % kapal ikan berada dibawah 10 Gross Ton (GT). Bahkan jika lebih spesifik, 68% diantaranya adalah perahu motor tempel dan perahu tanpa motor yang tidak mungkin berlayar ke area Zona Ekonomi Eksklusif. “Dengan UU CIptaker dan aturan turunannya maka definisi nelayan akan dipadankan dengan kategori UMKM sehingga dapat mendorong para nelayan untuk memperoleh akses permodalan dari perbankan serta bantuan pemerintah lebih tepat sasaran. Izin di sektor UMKM semakin mudah dalam UU Ciptaker,” ujar Alan.

Selain itu, Alan menegaskan, Pemerintah punya semangat nasionalisme tinggi, terutama dalam hal kedaulatan negara. Salah satunya mengenai aturan akses asing terhadap pengelolaan perikanan, terutama di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Alan menyampaikan, kedaulatan wilayah itu hanya berlaku untuk perairan teritorial, bukan ZEE. “Tapi kita memiliki hak berdaulat di ZEE, yang meliputi hak eksplorasi, eksploitasi dan pemeliharaan keberlanjutan lingkungan,” kata Alan.

Pemerintah akan mempertahankan kedaulatan wilayah dengan mati-matian (nasionalisme). Hal ini pun sekaligus memastikan bahwa UU Ciptaker selaras dengan Undang-undang Perikanan sebelumnya, dimana yang tetap menegaskan akses asing harus didahului dengan perjanjian perikanan bilateral. “Artinya kan kita berhak memberi izin atau tidak terhadap kapal asing,” tambah Alan. Saat ini, Indonesia tidak membuka izin masuk kapal asing, sesuai kondisi tersedia melalui Perpres 44 tahun 2016, dimana melarang modal asing di sektor penangkapan ikan, 100% harus modal dalam negeri.

Pada sisi lain, pemerintah telah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut atau United Nations Convention on The Law of the Sea (UNCLOS) tentang kesanggupan Pemerintah Indonesia dalam mengelola sektor kelautan.
Dalam Pasal 5 ayat (3) UU No 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia menyebutkan bahwa eksplorasi dan eksploitasi suatu sumber daya alam hayati di daerah tertentu di ZEE Indonesia oleh pihak asing dapat diizinkan jika jumlah tangkapan yang diperbolehkan oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk jenis tertentu melebihi (surplus) dari kemampuan Indonesia untuk memanfaatkannya.
Hal ini pernah berlangsung pada tahun 2001 hingga 2006. Indonesia pernah memberi kesempatan kepada pihak asing (Thailand, Filipina dan China) untuk menangkap ikan di ZEE melalui perjanjian kerjasama bilateral. “Jika Indonesia sanggup menggelola sepenuhnya maka artinya Indonesia mampu dan tidak perlu melibatkan asing.” jelas Alan.