Categories
Berita Ekonomi Ekonomi dan Produktivitas Kedeputian Kedeputian III

Surplus Neraca Dagang US$1,57 Miliar, Momentum Keluar dari Krisis

JAKARTA – Perlahan tapi pasti, sinyal pemulihan ekonomi Indonesia terus menguat di tengah pandemi Covid-19. Salah satu tolok ukurnya; neraca perdagangan kembali surplus dengan nilai US$1,57 miliar. Ekspor non migas menjadi komponen utama pertumbuhan suprlus neraca perdagangan merupakan hal yang menggembirakan. “Momentum ini perlu terus dijaga, agar kita bukan hanya mampu keluar dari krisis, tetapi juga tumbuh secara lebih baik. Nanti setelah pandemi usai,” jelas Tenaga Ahli Utama Kedeputian Bidang Ekonomi Kantor Staf Presiden (KSP) Edy Priyono saat dihubungi, Jumat (16/4).

Surplus neraca dagang tersebut tidak lepas dari transaksi perdagangan luar negeri (ekspor/impor), khususnya sektor industri. Terlihat dari peningkatan yang terjadi pada impor barang modal dan bahan baku/penolong yang meningkat hingga 33,7% secara year on year (yoy). Hal yang sama terjadi untuk impor bahan baku, mengalami peningkatan secara yoy sebesar 25,82%.

Secara implisit, hal itu menunjukkan bahwa sektor industri (sebagai pemakai barang modal dan bahan baku) terus menggeliat dan bangkit di masa pandemi. Edy menyebut, catatan ini patut kita syukuri di tengah kesulitan ekonomi pada masa pandemi. “Apalagi pada April 2020 lalu, neraca perdagangan kita sempat defisit,” ungkap Edy.

Indikator kinerja industri (Prompt Manufacturing Index) yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia juga menunjukkan sinyal pemulihan ekonomi. Sepanjang tiga bulan pertama tahun ini, PMI Indonesia berada pada level 50,01, naik dari 47,29 pada kuartal IV-2020. Dari sini, Edy melihat, sektor industri sudah mulai memasuki zona ekspansi (PMI lebih dari 50). PMI pun diperkirakan terus membaik dan menjadi 55,25 pada kuartal II-2021.

Meskipun demikian, Edy melihat masih ada catatan yang membuat kita mesti bekerja keras. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa ekspor Indonesia masih didominasi oleh produk pertambangan dan produk olahan kelapa sawit. Hal itu menunjukkan bahwa diversifikasi ekspor masih menjadi tantangan yang mesti dijawab. Selain itu, negara tujuan ekspor juga masih didominasi oleh negara-negara yang selama ini memang menjadi mitra utama, seperti Tongkok, AS dan Jepang. “Pengembangan pasar non-tradisional masih menjadi tantangan dan memerlukan kerja keras untuk mewujudkannya,” tutur Edy.